“Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula”. Slogan itu terdengar semakin asing di telinga kita. Ada hubungan yang erat antara kesehatan jasmani manusia dengan kesehatan rohaninya. Atau jika ditelaah lebih jauh lagi, kualitas kehidupan manusia, salah satunya juga ditentukan oleh kualitas jasmaninya.
Olahraga, karenanya, tidak dapat dipisahkan dari gerak hidup manusia. Ia adalah aktivitas fisik yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan; oleh segala usia, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lanjut usia; di semua tempat, baik di sekolah, di rumah, dan di tempat kerja dalam rangka menggapai hidup yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih seimbang. Kesimpulan dari semuanya, olahraga berdampak positif bagi kehidupan manusia.
Selain berdampak positif terhadap medical symptoms and vitality, studi yang dilakukan oleh Maksum dkk (2004) memberikan bukti empirik betapa aktivitas olahraga yang dilakukan secara teratur juga dapat meningkatkan kualitas hidup pelakunya. Secara psikis, orang yang berolahraga secara teratur akan lebih optimistis dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Hidupnya terasa lebih berharga dan bermanfaat, tidak teralienasi serta secara umum lebih merasakan kepuasan dalam hidupnya. Aktivitas berolahraga, dengan demikian, juga memiliki dampak yang signifikan terhadap psychological well-being seseorang.
Meskipun memiliki dampak yang menunjang kualitas kehidupan manusia, perhatian kita, khususnya pemerintah, terhadap olahraga masih sangat kurang. Padahal, olahraga adalah hak asasi setiap orang, seperti yang dinyatakan dalam artikel 1 the Charter of Physical Education and Sport yang diadopsi oleh UNESCO tahun 1978. Namun, potret olahraga sebagai sebuah hak asasi tampaknya masih terasa janggal di telinga kita. Hal ini bisa dipahami, mengingat selama ini olahraga tak lebih dari sekadar kegiatan untuk mengisi waktu, dan karena itu bisa dilakukan bisa tidak. Kesadaran demikian merupakan sebuah ironi, mengingat esensi olahraga jauh dari sekadar itu.
Karena itu, hak untuk dapat berolahraga masih kalah dengan hak-hak yang lain, seperti hak mendapatkan pekerjaan, hak berpolitik, dan hak ekonomi. Realita ini setidaknya dapat kita lihat pada peralihan fungsi sejumlah prasarana olahraga menjadi gedung perkantoran atau pusat-pusat bisnis lainnya. Padahal, pengalihan fungsi tersebut berarti akses masyarakat terhadap fasilitas olahraga semakin berkurang. Dan itu berarti pula hak mereka untuk berolahraga menjadi terdistorsi. Kini, kita ikut merasakan, betapa sulitnya mencari tempat untuk bermain dan berolahraga. Akibatnya, ruang publik yang semestinya tidak digunakan untuk berolahraga, seperti taman dan jalan, ikut dirambah.
Hak, di satu sisi, akan memunculkan kewajiban pada sisi yang lain. Di dalamnya terdapat kewajiban negara, termasuk pemerintah daerah, untuk memberi akses yang luas kepada publik agar dapat menyalurkan aktivitas fisiknya dengan optimal. Undang Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bahkan memberikan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya kegiatan keolahragaan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Semangat ini perlu dipahami oleh para pengambil kebijakan pemerintahan. Demikian pula masyarakat harus sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk berolahraga. Karena itu, munculnya kesadaran baru akan hak di satu sisi dan kewajiban di sisi yang lain merupakan keniscayaan. Selamat bertugas, Cak Bambang!
Filed under: general | Leave a comment »