• Blog Stats

    • 21,076 hits

Olahraga: Hak-ku, Kewajiban-mu!

“Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula”. Slogan itu terdengar semakin asing di telinga kita. Ada hubungan yang erat antara kesehatan jasmani manusia dengan kesehatan rohaninya. Atau jika ditelaah lebih jauh lagi, kualitas kehidupan manusia, salah satunya juga ditentukan oleh kualitas jasmaninya.

Olahraga, karenanya, tidak dapat dipisahkan dari gerak hidup manusia. Ia adalah aktivitas fisik yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan; oleh segala usia, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lanjut usia; di semua tempat, baik di sekolah, di rumah, dan di tempat kerja dalam rangka menggapai hidup yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih seimbang. Kesimpulan dari semuanya, olahraga berdampak positif bagi kehidupan manusia.

Selain berdampak positif terhadap medical symptoms and vitality, studi yang dilakukan oleh Maksum dkk (2004) memberikan bukti empirik betapa aktivitas olahraga yang dilakukan secara teratur juga dapat meningkatkan kualitas hidup pelakunya. Secara psikis, orang yang berolahraga secara teratur akan lebih optimistis dalam menghadapi hidup dan kehidupan. Hidupnya terasa lebih berharga dan bermanfaat, tidak teralienasi serta secara umum lebih merasakan kepuasan dalam hidupnya. Aktivitas berolahraga, dengan demikian, juga memiliki dampak yang signifikan terhadap psychological well-being seseorang.

Meskipun memiliki dampak yang menunjang kualitas kehidupan manusia, perhatian kita, khususnya pemerintah, terhadap olahraga  masih sangat kurang. Padahal, olahraga adalah hak asasi setiap orang, seperti yang dinyatakan dalam artikel 1 the Charter of Physical Education and Sport yang diadopsi oleh UNESCO tahun 1978. Namun, potret olahraga sebagai sebuah hak asasi tampaknya masih terasa janggal di telinga kita. Hal ini bisa dipahami, mengingat selama ini olahraga tak lebih dari sekadar kegiatan untuk mengisi waktu, dan karena itu bisa dilakukan bisa tidak. Kesadaran demikian merupakan sebuah ironi, mengingat esensi olahraga jauh dari sekadar itu.

Karena itu, hak untuk dapat berolahraga masih kalah dengan hak-hak yang lain, seperti hak mendapatkan pekerjaan, hak berpolitik, dan hak ekonomi. Realita ini setidaknya dapat kita lihat  pada peralihan fungsi sejumlah prasarana olahraga menjadi gedung perkantoran atau pusat-pusat bisnis lainnya. Padahal, pengalihan fungsi tersebut berarti akses masyarakat terhadap fasilitas olahraga semakin berkurang. Dan itu berarti pula hak mereka untuk berolahraga menjadi terdistorsi. Kini, kita ikut merasakan, betapa sulitnya mencari tempat untuk bermain dan berolahraga. Akibatnya, ruang publik yang semestinya tidak digunakan untuk berolahraga, seperti taman dan jalan, ikut dirambah.

Hak, di satu sisi, akan memunculkan kewajiban pada sisi yang lain. Di dalamnya terdapat kewajiban negara, termasuk pemerintah daerah, untuk memberi akses yang luas kepada publik agar dapat menyalurkan aktivitas fisiknya dengan optimal. Undang Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional bahkan memberikan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya kegiatan keolahragaan bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Semangat ini perlu dipahami oleh para pengambil kebijakan pemerintahan. Demikian pula masyarakat harus sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk berolahraga. Karena itu, munculnya kesadaran baru akan hak di satu sisi dan kewajiban di sisi yang lain merupakan keniscayaan. Selamat bertugas, Cak Bambang!

 

Saatnya Surabaya Vertical Housing!

Mencari hunian di Surabaya bukan pekerjaan mudah. Apalagi bagi mereka yang berkantong pas-pasan. Harga properti di kota ini terlalu tinggi, terlebih di pusat kota. Di barat dan selatan Surabaya, yang menjadi primadona pengembangan kawasan hunian di kota ini, harga properti melonjak tinggi. Patokan harga rumah sehat sederhana (RSh) yang ditetapkan pemerintah pada kisaran Rp. 42 juta, sudah tidak mungkin diperoleh di kota ini. Mahalnya harga tanah, mengakibatkan pengembang lebih memilih untuk membangun hunian menengah ke atas.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki cukup anggaran? Solusinya ada pada kawasan-kawasan pinggiran Surabaya, seperti Sidoarjo dan Gresik. Kian hari, seiring perkembangan kota dan laju inflasi bangsa ini, kenaikan harga sektor properti mengakibatkan orang-orang yang berpenghasilan ala kadarnya semakin terpinggirkan dari pusat kota Surabaya.

Dampak yang timbul kemudian tidak boleh dianggap sepele, terlebih setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Pola hunian seperti ini, akhirnya melahirkan high cost econony, yang ironisnya harus ditanggung oleh mereka yang hanya punya uang pas-pasan. Semakin jauh dari pusat kota, berarti semakin besar pula dana tambahan yang harus mereka keluarkan untuk menjangkau kota, tempat mereka mengais rejeki. Selain itu, pengembangan kawasan hunian yang berorientasi pada landed housing ikut berperan pada berkurangnya daerah resapan sebagai antisipasi banjir dan kemacetan lalu lintas pada jalan-jalan koridor masuk ke Surabaya.

Kalau sudah begini, lantas solusi apa yang bisa kita lakukan? Di tengah langkanya lahan kosong di Surabaya, sudah waktunya kita merubah paradigma hunian kita. Sekarang adalah saatnya vertical housing, hunian bertingkat ala apartemen atau rumah susun. Pembangunan vertical housing tentunya memiliki keuntungan tersendiri, utamanya dalam meningkatkan intensitas pendayagunaan lahan, infrastruktur maupun “ruang” untuk berusaha, berdagang, berkantor, berekreasi, dan bertempat tinggal.

Waktu pun dapat dimanfaatkan dengan benar-benar optimal. Warga kota cukup berjalan kaki atau sekali naik kendaraan umum untuk sampai di lokasi kerja. kita perlu belajar dari pembangunan kota-kota lain di belahan dunia. Belanda contohnya, dengan kota-kontanya seperti Rotterdam, Amsterdam, dan Den Haag. Di sana, rumah-rumah vertikal sudah dikenal sejak abad ke-15, dan bertahan hingga saat ini. Kawasan hunian pada pusat kota dipenuhi dengan flat-flat dan apartemen, sementara bagi mereka yang berkantong tebal, yang mendambakan hunian mewah nan eksklusif, silahkan mencari di kawasan pinggir kota.

Bagaimana dengan Kota Surabaya, masihkah tetap berorientasi pada format perencanaan kawasan hunian yang konvensional pada bentuk landed housing? Ataukah Pemkot telah berancang-ancang untuk mengusung konsep vertical housing? Semua pilihan ini ada di tangan para pengambil kebijakan kota ini. Namun, terlepas dari pilihan itu, kiranya konsep hunian vertikal sudah waktunya untuk dipikirkan secara lebih serius. Langkah-langkah strategis untuk mewujudkan konsep itu, termasuk sosialisasinya, perlu dilakukan lebih dini agar publik lebih memahami konsep vertikal tersebut dengan lebih baik. Perencanaannya pun harus matang, terutama menyangkut aspek psikografis dan kultural penghuninya. Selamat bertugas, Cak Bambang!

 

Meminang Partisipasi Publik

Partisipasi publik, tentunya bukan istilah yang asing di telinga kita. Hal ini adalah kondisi yang diidam-idamkan oleh pemerintah dalam implementasi setiap kebijakannya. Publik yang aktif, dan bukannya masyarakat yang apatis, sudah tentu akan menjadi partner yang menguntungkan bagi pemerintah untuk mencapai suksesnya program pembangunan.

Mengapa pemerintah membutuhkan partisipasi publik? Sudah pasti karena pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, terlebih bagi pengelola kota besar seperti Surabaya, yang luas dan kompleks persoalannya. Sementara sumber daya pemerintah tidak mencukupi. Kemampuan pemerintah untuk menjangkau segala permasalahan masyarakat kota pun ada batasnya, apalagi dalam memenuhi hajat hidup seluruh penduduk kota. Karenanya, Pemkot Surabaya pun membutuhkan peran aktif publik Surabaya.

Lantas, mengapa begitu sulit bagi pemerintah untuk memperoleh dukungan aktif  masyarakat? Ada yang mengatakan karena selama ini, program-program pembangunan yang digalakkan oleh Pemkot Surabaya kurang menyentuh kehidupan masyarakat. Karenanya, warga kota pun cenderung acuh tak acuh dengan segala permasalahan yang dihadapi kota ini. Alih-alih memberikan dukungan atau sekadar simpati, warga kota lebih suka menimpakan seluruh masalah kota pada pundak Pemkot. Padahal, kalau kita boleh jujur, banyak juga masalah kota yang timbul sebagai akibat dari perilaku warga kota yang kurang peduli dengan hari depan kota ini.

Banjir, yang selalu menghantui Surabaya setiap musim penghujan tiba, dapat dijadikan contoh. Terlepas dari persoalan semakin minimnya daerah resapan akibat kemungkinan kong kalikong antara birokrat kota dan sebagian pelaku bisnis yang mengalihkan peruntukkan lahan, meluapnya air di jalan-jalan kota Surabaya juga disebabkan oleh perilaku kita yang kurang ramah lingkungan. Got-got di sepanjang jalan penuh dengan sampah hasil aktivitas kita sehari-hari. Belum lagi perilaku kurang terpuji warga kota yang dengan sengaja menyumbat saluran air demi kepentingan yang sempit.

Saatnya bagi Pemkot untuk berbenah diri, yang dapat diawali dengan merubah paradigma pelayanan kepada masyarakat. Serahkanlah tugas-tugas pemerintah kepada masyarakat, sepanjang mereka mampu melaksanakannya. Pemerintah sejauh mungkin berperan sebagai pengarah. Masyarakat perlu lebih dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan sampai pemeliharaan program. Dengan demikian, sense of belonging publik kota akan terbangun. Mereka tidak hanya aktif dalam membangun, tetapi juga dalam menjaga hasil-hasil pembangunan. Inilah esensi pemberdayaan masyarakat.

Yang tak kalah pentingnya adalah transparansi dalam setiap kebijakan publik. Pemkot harus terbuka kepada masyarakat. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dalam setiap proses perumusan, pengambilan, hingga implementasi kebijakan tersebut. Hasilnya, akuntabilitas Pemkot pun akan terbangun, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik untuk kemudian mendorong lahirnya partisipasi masyarakat.

Di tengah kecenderungan apatisme publik kota saat ini, cita-cita untuk membangun partisipasi masyarakat terlihat terlalu muluk. Namun hal ini adalah keniscayaan yang tak dapat ditunda lagi. Masa depan Kota Surabaya ada di tangan publik kota ini. Karenanya, sudah menjadi kewajiban Pemkot untuk meraih hati penduduk kota, demi hari depan kota yang lebih baik. Selamat bertugas Cak Bambang!