• Blog Stats

    • 21,053 hits

Oleh-oleh dari Negeri Jiran

Sebagai kota jasa (city of service), para pengelola Surabaya paham betul arti penting investor bagi pertumbuhan dan perkembangan kota ini. Demi meraih minat para penanam modal itulah, Wawali Arif Affandi sampai perlu melakukan kunjungan ke Malaysia 16 Maret silam. Dalam kunjungan yang ditujukan untuk memasarkn Surabaya itu, Arif membawa rombongan yang cukup representatif. Mereka yang termasuk dalam rombongan di antaranya Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Surabaya, Muhammad Rudiansyah, Henky Kurniadi (pengusaha real estate), Yusak Anshori (Direktur Eksekutif Surabaya Tourism Board), Najib AR Bahasuan (direktur marketing perusahaan sarung Behaestek) dan Freddy Pangkey (pengusaha cat). Selain itu, turut serta dalam rombongan Kresnayana Yahya (pakar statistik dari ITS), Muhammad Selim (Direktur PDAM), dan Togar Arifin Silaban (Kabid Fisik dan Prasarana Bappeko).

Continue reading

Breakthrough Surabaya

Surabaya tak pernah sepi dari berbagai problem yang menderanya. Sesungguhnya, berbagai permasalahan kota itu bukanlah sesuatu yang merugikan, sebaliknya masalah-masalah itu adalah hal yang “baik” yang menunjukkan betapa dinamisnya kota ini. Namun, semua berpulang pada penghuni kota ini dalam menyikapi berbagai persoalan itu, apakah akan disikapi secara positif atau negatif.

Sebagai pengelola kota, sudah pasti beban terbesar untuk menyelesaikan berbagai problem kota ada di pundak pemerintah. Hal ini tidak berarti komponen kota yang lain terlepas dari tugas itu, karena membenahi Surabaya adalah kewajiban seluruh penduduknya. Dan untuk itu, pemerintah tampaknya telah berupaya keras untuk menyelesaikan carut marut persoalan itu. Banyak wacana yang sudah dikumandangkan. Banyak program yang telah direalisasikan. Namun, tampaknya semua upaya itu masih belum cukup. Publik masih belum puas.

Berbagai program pemerintah seringkali disikapi warga kota dengan skeptis. Rasa memiliki dan tanggungjawab warga kota terhadap kota ini terus menurun. Sampai-sampai Wawali, Arif Afandi, dalam salah satu pernyataannya menyebutkan jika kepercayaan publik (public trust) adalah hal yang mahal di Surabaya. Komplain dan keluhan terus datang susul-menyusul. Dari kualitas jalan, banjir, sampah, kemacetan lalu lintas dan kualitas transportasi publik, minimnya ruang publik kota, hingga rendahnya kualitas pelayanan publik di kota ini.

Di lain pihak, birokrasi kita pun ikut tersandung berbagai persoalan. Akhir-akhir ini, berbagai problem pelaksanaan proyek mencuat hingga menyeret beberapa pelaksana proyek berhadapan dengan hukum. Akibatnya, banyak aparat Pemkot yang takut ditunjuk sebagai Pimpro. Mereka khawatir jika nantinya proyek yang mereka tangani bermasalah. Dan yang paling mutakhir, carut marut persoalan reklame yang masih menghiasi halaman-halaman berita kota media metropolis. Pembangunan kota Surabaya pun berada di ujung tanduk. Hal ini terkait dengan molornya pembahasan RAPBD Surabaya 2006 yang belum juga disahkan. Padahal, waktu yang tersedia untuk merealisasikan seluruh program yang dianggarkan tahun 2006 ini tak akan pernah bertambah, hanya tersisa 9 bulan lagi.

Meskipun demikian, warga kota ini hendaklah memberi kepercayaan dan dukungan yang besar bagi pengelola kota untuk menuntaskan berbagai program yang tertunda. Berbagai rapor merah pemerintah jangan dijadikan justifikasi bagi menurunnya kepercayaan dan pastisipasi publik. Di lain pihak, pemerintah pun tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan dan dukungan yang diberikan oleh masyarakat Surabaya. Pengelola kota perlu melakukan berbagai terobosan di tengah kompleksitas permasalahan kota dengan mengurai satu demi satu akar masalahnya berikut solusi untuk menanggulanginya. Ibarat menggunakan dongkrak mobil, jika dongkrak itu belum ditempatkan pada titik yang pas, mustahil mobil akan bisa terangkat. Sama halnya dengan problem kota ini, jika program itu belum menyentuh titik pengungkitnya (leverage point), sulit rasanya kita akan mampu mengatasi berbagai persoalan yang membelit kota ini. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!

Kucing-Kucingan PKL

Gagal lagi, gagal lagi. Kisah-kisah tentang penertiban PKL yang berakhir dengan kegagalan adalah cerita usang di tengah dinamika kota ini. Berbagai program penertiban PKL yang dikembangkan pemerintah kota tak pernah tuntas. Kisah ini pula yang dapat kita jumpai dari penertiban PKL Joyoboyo beberapa waktu silam. Baru beberapa hari ditertibkan, sebagian PKL Joyoboyo sudah kembali lagi. Mereka “balik kucing”. Tak lama setelah terusir dari tempat mereka mengais rejeki, dan bedak-bedak tempat mereka menggelar dagangan dihancurkan oleh aparat penertiban, kini mereka mulai tampil lagi, memperbaiki tempat berjualan, dan menggelar aktivitas di sana. Peristiwa ini seakan melengkapi berbagai kisah kegagalan penataan PKL yang dilakukan Pemkot sebelumnya.

Penertiban PKL bukan pula cerita baru. Seperti pada tahun sebelumnya, Pemkot pernah berupaya untuk menggusur PKL dari jalur-jalur utama kota. Program penertiban pun di gelar. Tidak cuma sekali, namun berkali-kali dengan intensitas yang tinggi. Perda No. 17/2003 tentang Penataan dan Pembinaan PKL dikeluarkan sebagai landasan hukum bagi penataan PKL itu. Tapi hasilnya, sampai kini wajah Surabaya masih tetap kumuh dengan keberadaan PKL yang tumbuh tak terkendali.

Berkaca dari berbagai kegagalan itu, pemerintah perlu mawas diri dan mulai berbenah serta meninggalkan paradigma lama mereka dalam melihat eksistensi PKL. Satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa PKL memiliki daya survival dan kemampuan adaptasi yang tinggi. Betapa pun kerasnya pemerintah berupaya menekan mereka, para PKL itu akan mengembangkan berbagai strategi guna memanfaatkan kelemahan-kelemahan pengelola kota agar kelangsungan aktivitas mereka tetap terjaga.

Pola balik kucing salah satunya. Saat ini, kucing-kucingan seakan menjadi romantika tersendiri bagi para PKL, yang merupakan pernik sehari-hari bagi ‘indahnya’ kehidupan mereka. Jangan dikira modus perlawanan seperti itu muncul begitu saja. Pola itu muncul dari berbagai proses pergulatan panjang yang dihadapi oleh PKL dalam hubungan mereka dengan penguasa kota. Jika pemerintah kota mau memperhatikan sejenak sejarah perlawanan PKL, akan tampak satu benang merah dari perlawanan mereka dan merupakan sebuah fenomena yang mungkin tak pernah dicernati selama ini oleh pengelola kota.

Menata PKL memang bukan pekerjaan mudah. Langkah pengelola kota menggusur mereka dari sudut-sudut kota sering menuai banyak kritik, tidak saja dari para PKL itu, namun juga dari kalangan penggiat LSM, penegak HAM, dan lain-lain. Sementara membiarkan mereka tetap beraktivitas dan tumbuh menjamur tak ayal mengundang keresahan dari sejumlah warga kota lainnya.

Karenanya dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah untuk melihat persoalan ini secara lebih jernih dengan menentukan kebijakan yang tegas tentang posisi PKL dalam strata aktor ekonomi di kota ini, sehingga kepastian ruang untuk mereka juga harus diakomodasi. Sebagai langkah awal, pengelola kota perlu menggali terlebih dahulu pokok masaalah PKL di kota ini, sehingga pola-pola penataan yang dikembangkan pun dapat mengakomodasi suara-suara mereka yang cenderung terpinggirkan. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!