Surabaya tak pernah sepi dari berbagai problem yang menderanya. Sesungguhnya, berbagai permasalahan kota itu bukanlah sesuatu yang merugikan, sebaliknya masalah-masalah itu adalah hal yang “baik” yang menunjukkan betapa dinamisnya kota ini. Namun, semua berpulang pada penghuni kota ini dalam menyikapi berbagai persoalan itu, apakah akan disikapi secara positif atau negatif.
Sebagai pengelola kota, sudah pasti beban terbesar untuk menyelesaikan berbagai problem kota ada di pundak pemerintah. Hal ini tidak berarti komponen kota yang lain terlepas dari tugas itu, karena membenahi Surabaya adalah kewajiban seluruh penduduknya. Dan untuk itu, pemerintah tampaknya telah berupaya keras untuk menyelesaikan carut marut persoalan itu. Banyak wacana yang sudah dikumandangkan. Banyak program yang telah direalisasikan. Namun, tampaknya semua upaya itu masih belum cukup. Publik masih belum puas.
Berbagai program pemerintah seringkali disikapi warga kota dengan skeptis. Rasa memiliki dan tanggungjawab warga kota terhadap kota ini terus menurun. Sampai-sampai Wawali, Arif Afandi, dalam salah satu pernyataannya menyebutkan jika kepercayaan publik (public trust) adalah hal yang mahal di Surabaya. Komplain dan keluhan terus datang susul-menyusul. Dari kualitas jalan, banjir, sampah, kemacetan lalu lintas dan kualitas transportasi publik, minimnya ruang publik kota, hingga rendahnya kualitas pelayanan publik di kota ini.
Di lain pihak, birokrasi kita pun ikut tersandung berbagai persoalan. Akhir-akhir ini, berbagai problem pelaksanaan proyek mencuat hingga menyeret beberapa pelaksana proyek berhadapan dengan hukum. Akibatnya, banyak aparat Pemkot yang takut ditunjuk sebagai Pimpro. Mereka khawatir jika nantinya proyek yang mereka tangani bermasalah. Dan yang paling mutakhir, carut marut persoalan reklame yang masih menghiasi halaman-halaman berita kota media metropolis. Pembangunan kota Surabaya pun berada di ujung tanduk. Hal ini terkait dengan molornya pembahasan RAPBD Surabaya 2006 yang belum juga disahkan. Padahal, waktu yang tersedia untuk merealisasikan seluruh program yang dianggarkan tahun 2006 ini tak akan pernah bertambah, hanya tersisa 9 bulan lagi.
Meskipun demikian, warga kota ini hendaklah memberi kepercayaan dan dukungan yang besar bagi pengelola kota untuk menuntaskan berbagai program yang tertunda. Berbagai rapor merah pemerintah jangan dijadikan justifikasi bagi menurunnya kepercayaan dan pastisipasi publik. Di lain pihak, pemerintah pun tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan dan dukungan yang diberikan oleh masyarakat Surabaya. Pengelola kota perlu melakukan berbagai terobosan di tengah kompleksitas permasalahan kota dengan mengurai satu demi satu akar masalahnya berikut solusi untuk menanggulanginya. Ibarat menggunakan dongkrak mobil, jika dongkrak itu belum ditempatkan pada titik yang pas, mustahil mobil akan bisa terangkat. Sama halnya dengan problem kota ini, jika program itu belum menyentuh titik pengungkitnya (leverage point), sulit rasanya kita akan mampu mengatasi berbagai persoalan yang membelit kota ini. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!
Filed under: general | Leave a comment »