• Blog Stats

    • 21,054 hits

Mengurai Carut Marut Pembangunan Kota

Betapa ruwetnya pembangunan kota ini. Pembangunan yang sejatinya diharapkan dapat mengangkat harkat hidup warga kota, sekaligus menjadikan Surabaya kota yang bermartabat dan manusiawi, malah berbalik arah menjadi cermin bagi aneka praktik dan sikap kurang terpuji serta tak bertanggung jawab sebagian warga kota. Mengapa di sebut kurang terpuji dan tak bertanggung jawab?

Semuanya tak lepas dari realitas yang terjadi di lapangan yang sungguh tidak patut diteladani. Penyimpangan demi penyimpangan seolah melekat pada setiap aktivitas pembangunan kota ini. Pembangunan yang cenderung bersifat pragmatis serta tidak berwawasan jauh ke depan, terlebih meminggirkan kepentingan rakyat banyak telah menghasilkan lingkungan Surabaya yang carut marut dengan berbagai persoalan pembangunan yang kian kompleks. Persoalan klasik transportasi, banjir, sampah, policy pertanahan, dan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan RTRW. Kita pun disuguhi tontonan tentang tarik ulur antara warga Wiyung dengan pihak pengembang Wisata Bukit Mas yang dianggap sebagai biang banjir di daerah itu. yang terbaru, tentu saja penolakan sebagian warga Kebraon yang tergabung dalam Forum Warga Kebraon Bersatu (FWKB) atas pembangunan Pasar Induk Keputran Baru (PIKB) di wilayahnya.

Selain kedua kasus di atas, publik kota tentu belum lupa dengan kasus pengadaan tiga eskalator Pasar Turi dan pemalsuan merek mikroskop bantuan dari Diknas kota Surabaya. Beberapa waktu sebelumnya, warga Surabaya juga telah dikejutkan dengan berita tentang gizi buruk yang akhirnya merenggut nyawa salah satu balita pengidapnya. Beragam kasus di atas hanya sekian dari banyak kasus yang terlalu panjang untuk disebutkan satu demi satu.

Meskipun berbeda, ada satu kesamaan dari berbagai kasus itu, yaitu sikap yang ditunjukkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Mereka cenderung berusaha untuk berkelit dan cuci tangan serta lepas dari tanggung jawab. Dalam kasus pengembangan kawasan Wisata Bukit Mas misalnya, tudingan diarahkan pada developer tanpa sedikitpun bertanya bagaimana pembangunan itu bisa terlaksana tanpa dukungan dokumen AMDAL. Sementara dalam kasus gizi buruk misalnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota, dr, Esty Martiana melalui pernyataannya kepada media massa (29/12/05), lebih melihat kurangnya kesadaran orang tua berkunjung ke posyandu sebagai penyebab mendasar merebaknya kasus ini. Juga tanpa berkomentar tentang kualitas pelayanan yang diberikan puskesmas-puskesmas yang tersebar di seantero Surabaya.

Akan halnya kasus pengadaan tiga eskalator, publik dibuat bingung dengan pemberitaan tentang siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. Dari pemenang tender hingga sub-kontraktor yang membangun eskalator tersebut, semua masih diliputi misteri. Sekali lagi, bagaimana akhirnya pemerintah „dikadali“ juga lepas dari sorotan. Terakhir, dalam kasus pemalsuan merek mikroskop, Kadiknas Surabaya, Drs. Sahudi, M. Pd, mengaku merasa dibohongi oleh CV DM (23/01/06). Sementara terkait dengan alamat CV DM yang diketemukan fiktif (24/01/06), Agus Sonhaji, Plt Kepala Bina Program Kota Surabaya, menyatakan jika panitia lelang tidak memferifikasi alamat kantor. Pihaknya hanya mengecek kualifikasi administratif, NPWP, perijinan dan data lainnya. Sebab, pendataan CV dan domisilinya melalui notaris, sehingga pihaknya hanya melihat akte pendirian CV dari notaris. Berbagai argumen di atas bertolak belakang dengan pernyataan Kasat pdkor Polda Jatim, AKBP Bambang Priyambodo, yang menyatakan harusnya Kadiknas, Pimpro, dan Kepala Panitia Pengadaan barang serta jasa mengetahui 167 mikroskop itu asli atau palsu sebelum tender dimenangkan CV DM (23/01/06).

Berkaca dari berbagai gambaran di atas, pengelola kota perlu membenahi pelaksanaan sistem administrasi pembangunannya. Ada yang salah dengan implementasi pembangunan selama ini. Galilah akar masalah itu, dan jangan lagi bohongi publik dengan berbagai argumen yang dicari-cari. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!

Kisah Pedih Pembangunan Kota

Kasus pembangunan eskalator Pasar Turi ternyata berkembang jauh. Setelah ditemukan secara tidak sengaja oleh para anggota DPRD yang melakukan inspeksi mendadak (Sidak) di sana, kasus itu bergulir layaknya peluru yang lepas dari larasnya. Selain menyeret pelaksana proyek dan pejabat Pemkot yang ditengarai terlibat dalam gonjang ganjing proyek tersebut, kasus itu akhirnya membuka wajah baru birokrasi kita, utamanya dalam menyelesaikan problem pembangunannya.

Birokrat sepertinya tak mau kompromi. Sebagai bukti, Pemkot hanya memberikan batas waktu (deadline) seminggu bagi PT Hersinda Pharmindo Sejati (HPS) untuk membongkar tiga eskalator yang tidak sesuai bestek itu. Sebulan kemudian PT HPS harus segera menggantinya.

Sangat disayangkan memang, dalam upaya kota ini memenuhi hajat hidup yang manusiawi bagi warga kota, masih saja ada penyimpangan pembangunan demi kepentingan segelintir orang. Dalam kasus eskalator itu, kita layak berterima kasih pada kejelian anggota dewan yang melakukan sidak di sana. Seandainya sidak tidak dilakukan dan penyimpangan tidak diketemukan, boleh jadi sampai saat ini, tak satu pun publik Surabaya yang menyadari adanya “permainan curang” tersebut. Kita tetap saja menggunakan fasilitas yang telah dibagun pemerintah, tanpa mengetahui bahwa hak kita untuk menikmati beragam fasilitas itu telah “dikurangi”.

Namun tak ayal, penemuan kasus itu semakin membuka mata publik terhadap berbagai penyimpangan pembangunan yang terjadi. Tak salah juga jika publik bertanya bagaimana dengan realisasi program-program yang lain, terlebih program-program yang “terselip” dari pandangan publik? Apakah penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan tiga eskalator di Pasar Turi itu hanyalah puncak dari fenomena gunung es carut marut pembangunan kota ini. Dengan kata lain, gonjang ganjing di Pasar Turi hanyalah salah satu contoh yang kelihatan. Bagaimana dengan yang lainnya?

Salah satu penyebab menjamurnya berbagai penyimpangan kembali pada lemahnya mekanisme kontrol pembangunan yang dijalankan sampai saat ini. Kontrol itu tidak hanya pada implementasi program, tapi telah dilaksanakan sejak tahap perencanaan. E-Procurement yang dikembangkan dengan biaya tidak sedikit salah satunya dimaksudkan untuk itu. Entoh penyimpangan masih saja terjadi. Lantas di mana akar masalahnya? Apakah perencanaan pembangunan telah disusun dan ditunjang dengan studi yang matang? Bagaimana pula dengan realisasinya? Ataukah perencanaan dan implementasi seolah berjalan sendiri-sendiri? Berbagai penyimpangan yang diketemukan kemudian tentunya tidak terjadi begitu saja. Jika kontrol itu telah dilakukan sejak dini, tentunya indikasi penyimpangan telah terdeteksi sejak awal pula.

Selama mekanisme kontrol itu belum diimplementasikan secara ketat, berbagai penyimpangan dan kongkalikong akan terus terjadi. Solusi instan dengan menghukum rekanan nakal yang tertangkap basah tidak akan efektif, karena tak ubahnya menabur garam di laut. Kalau sudah begini, bagaimana nasib Surabaya ke depan? Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!

Balada Tol Tengah Kota

Setelah sekian lama menjadi perdebatan, akhirnya rencana Surabaya untuk memiliki tol tengah kota kian mendekati kenyataan. Tengara ini muncul setelah panitia khusus (Pansus) Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Surabaya memasukkan tol tengah kota sebagai salah satu item rekomendasi pembangunan kota ini ke depan. Terlebih, guna mengatasi kemacetan kota. Tol tengah kota ini dimasukkan dalam pasal 21 ayat 3 yang berbunyi: “Untuk pengembangan jalan alternatif yang menghubungkan wilayah utara dengan wilayah selatan dibanguna jalan lingkar timur, lingkar barat dan tol tengah kota.

Sementara dalam tataran konsep pembangunan seperti yang pernah dipaparkan oleh Bappeko, ada beberapa rekomendasi yang harus dilakukan. Salah satunya adalah menghubungkan tol tersebut dengan jalan arteri, termasuk tol yang sudah ada. Dengan demikian, besar sekali harapan perencana kota ini, bahwa keberadaan jalan tol ini nantinya akan memberi sumbangan yang tidak kecil dalam mengurangi kemacetan di jalan-jalan kota.

Namun apakah harapan itu akan menjadi kenyataan atau tidak? Ada beberapa hal yang perlu kita kaji secara cermat. Pertama, konsep pembangunan jalan tol itu masih mengacu pada konsep car mobility, bukan human mobility. Dalam konsep pertama, fasilitas terhadap kendaraan bermotor pribadi menjadi primadona, dan yang menjadi ukurannya adalah kecepatan kendaraan pribadi yang sedapat mungkin tanpa hambatan. Padahal, konsep ini boleh dibilang sudah usang dan banyak yang gagal. Berbeda halnya dengan konsep human mobility yang memfasilitasi kemudahan pergerakan manusia melalui berbagai prasarana dan sarana transportasi. Pemakaian kendaraan pribadi di pusat kota sedapat mungkin dibatasi, atau diberikan ongkos cukup tinggi melalui pajak khusus, parkir, sistem stiker, dan sebagainya. Sebagai solusinya, disediakan angkutan umum di perkotaan yang andal, aman dan nyaman.

Kedua, jalan di pusat kota telah jenuh dengan lalu lintas di atasnya. Lalu lintas bergulir ibarat air yang mengalir. Bila jalan tol dibagun di tengah kota, hal ini tak ubahnya “menumpahkan air bah langsung ke tengah kota”. Proses penyaringan arus lalu lintas dari daerah pinggiran menuju pusat kota tidak terjadi. Lalu lintas akan langsung menjadi beban jalan dan persimpangan yang telah jenuh. Bahkan, dapat diproyeksikan bahwa nantinya akan terjadi antrean cukup panjang di pintu-pintu keluar tol, karena jalan yang akan menampungnya telah berada dalam kondisi macet. Struktur ruang kota akan berubah secara mendasar dengan implikasi yang sangat luas.

Tidak mudah memang mencari solusi atas permasalahan yang telah berkembang sedemikian kompleks. Pembangunan jalan baru, apalagi di tengah kota belum tentu menjadi solusi, salah-salah malah menjadi petaka tersendiri. Menurut penelitian, pembangunan jalan baru akan membangkitkan lalu lintas baru yang akhirnya justru menambah kemacetan. Itu sebabnya, San Fransisco mengambrukkan beberapa ruas jalan bebas hambatannya. Seoul merobohkan 6 kilometer jalan layang tengah kota, mengubahnya menjadi ruang publik yang sangat humanis (Gatra, 19/11/05). Dua kota ini menyadari, car oriented akan menghalangi terbentuknya kota yang manusiawi. Bagaimana dengan Surabaya? Tentunya semua berpulang pada kita selaku penduduk kota ini. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!