Betapa ruwetnya pembangunan kota ini. Pembangunan yang sejatinya diharapkan dapat mengangkat harkat hidup warga kota, sekaligus menjadikan Surabaya kota yang bermartabat dan manusiawi, malah berbalik arah menjadi cermin bagi aneka praktik dan sikap kurang terpuji serta tak bertanggung jawab sebagian warga kota. Mengapa di sebut kurang terpuji dan tak bertanggung jawab?
Semuanya tak lepas dari realitas yang terjadi di lapangan yang sungguh tidak patut diteladani. Penyimpangan demi penyimpangan seolah melekat pada setiap aktivitas pembangunan kota ini. Pembangunan yang cenderung bersifat pragmatis serta tidak berwawasan jauh ke depan, terlebih meminggirkan kepentingan rakyat banyak telah menghasilkan lingkungan Surabaya yang carut marut dengan berbagai persoalan pembangunan yang kian kompleks. Persoalan klasik transportasi, banjir, sampah, policy pertanahan, dan tata guna lahan yang tidak sesuai dengan RTRW. Kita pun disuguhi tontonan tentang tarik ulur antara warga Wiyung dengan pihak pengembang Wisata Bukit Mas yang dianggap sebagai biang banjir di daerah itu. yang terbaru, tentu saja penolakan sebagian warga Kebraon yang tergabung dalam Forum Warga Kebraon Bersatu (FWKB) atas pembangunan Pasar Induk Keputran Baru (PIKB) di wilayahnya.
Selain kedua kasus di atas, publik kota tentu belum lupa dengan kasus pengadaan tiga eskalator Pasar Turi dan pemalsuan merek mikroskop bantuan dari Diknas kota Surabaya. Beberapa waktu sebelumnya, warga Surabaya juga telah dikejutkan dengan berita tentang gizi buruk yang akhirnya merenggut nyawa salah satu balita pengidapnya. Beragam kasus di atas hanya sekian dari banyak kasus yang terlalu panjang untuk disebutkan satu demi satu.
Meskipun berbeda, ada satu kesamaan dari berbagai kasus itu, yaitu sikap yang ditunjukkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Mereka cenderung berusaha untuk berkelit dan cuci tangan serta lepas dari tanggung jawab. Dalam kasus pengembangan kawasan Wisata Bukit Mas misalnya, tudingan diarahkan pada developer tanpa sedikitpun bertanya bagaimana pembangunan itu bisa terlaksana tanpa dukungan dokumen AMDAL. Sementara dalam kasus gizi buruk misalnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota, dr, Esty Martiana melalui pernyataannya kepada media massa (29/12/05), lebih melihat kurangnya kesadaran orang tua berkunjung ke posyandu sebagai penyebab mendasar merebaknya kasus ini. Juga tanpa berkomentar tentang kualitas pelayanan yang diberikan puskesmas-puskesmas yang tersebar di seantero Surabaya.
Akan halnya kasus pengadaan tiga eskalator, publik dibuat bingung dengan pemberitaan tentang siapa sesungguhnya yang paling bertanggung jawab dalam kasus itu. Dari pemenang tender hingga sub-kontraktor yang membangun eskalator tersebut, semua masih diliputi misteri. Sekali lagi, bagaimana akhirnya pemerintah „dikadali“ juga lepas dari sorotan. Terakhir, dalam kasus pemalsuan merek mikroskop, Kadiknas Surabaya, Drs. Sahudi, M. Pd, mengaku merasa dibohongi oleh CV DM (23/01/06). Sementara terkait dengan alamat CV DM yang diketemukan fiktif (24/01/06), Agus Sonhaji, Plt Kepala Bina Program Kota Surabaya, menyatakan jika panitia lelang tidak memferifikasi alamat kantor. Pihaknya hanya mengecek kualifikasi administratif, NPWP, perijinan dan data lainnya. Sebab, pendataan CV dan domisilinya melalui notaris, sehingga pihaknya hanya melihat akte pendirian CV dari notaris. Berbagai argumen di atas bertolak belakang dengan pernyataan Kasat pdkor Polda Jatim, AKBP Bambang Priyambodo, yang menyatakan harusnya Kadiknas, Pimpro, dan Kepala Panitia Pengadaan barang serta jasa mengetahui 167 mikroskop itu asli atau palsu sebelum tender dimenangkan CV DM (23/01/06).
Berkaca dari berbagai gambaran di atas, pengelola kota perlu membenahi pelaksanaan sistem administrasi pembangunannya. Ada yang salah dengan implementasi pembangunan selama ini. Galilah akar masalah itu, dan jangan lagi bohongi publik dengan berbagai argumen yang dicari-cari. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!
Filed under: goverment | Leave a comment »