Pemkot Surabaya benar-benar kehilangan wibawa, demikian judul tajuk salah satu media lokal kota ini. Tak heran jika krisis kepercayaan publik kini tengah menggerogoti birokrasi. Betapa tidak, karena pengelola kota tak konsisten dengan janji-janji mereka sendiri, terlebih janji itu sudah diworo-woro di sejumlah media massa lokal kota ini. Lidah memang betul-betul tak bertulang.
Peristiwa ini tak lepas dari janji pemerintah kota untuk menertibkan brandgang yang tengah menjadi isu panas kota ini. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penyalahgunaan sewa brandgang atau jalan untuk pembenahan saluran dan masuknya mobil PMK yang dianggap sebagai salah satu biang banjir di Surabaya, jumlahnya cukup banyak. data di Pemkot menunjukkan tak kurang dari 593 brandgang ternyata 371 brandgang di antaranya izinnya sudah mati. bahkan hampir semua brandgang yang izinnya mati, di atasnya sudah didirikan bangunan permanen (9/2).
Terkait dengan brandgang-brandgang bermasalah itu, Walikota Bambang DH pada 27 Januari silam telah berjanji untuk menertibkannya. Perintah pun segera dikeluarkan, khususnya pada instansi penertiban untuk segera menindaklanjutinya. Pada 3 Februari 2006, Komisi C DPRD Surabaya menagih janji pemerintah dengan meminta data-data brandgang kota ini. Permintaan Komisi C tersebut disanggupi oleh Kepala Dinas Bina Marga dan Pematusan, Sri Mulyono, yang menjanjikan akan memberikan data-data itu pada 6 Februari 2006. Tapi, janji tersebut ternyata tidak ditepati. Pada 6 Februari, kembali Walikota memerintahkan penertiban brandgang.
Tidak mau dituding memble, beberapa instansi pemkot berjanji akan segera menggelar penertiban. Pada 7 Februari 2006, beberap instansi terkait, di antaranya Dinas Bina Marga dan Pematusan, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Tata Kota dan Bangunan, Badan Perencanaan Pembangunan, dan Badan Kesatuan dan Perlindungan Masyarakat, menggelar rapat khusus untuk merencanakan penertiban itu. dari hasil pertemuan itu, pemkot berniat menertibkan brandgang tak berizin pada 8 Februari, yang kemudian diundur lagi hingga 10 Februari, karena Bappeko masih belum siap menggelar penertiban dadakan. Namun, ditunggu hingga 10 Februari, janji pemkot untuk menertibkan brandgang hanya tinggal isapan jempol semata. Lagi-lagi, mereka tak berani melangkah dengan alasan masih akan berkoordinasi dengan instansi terkait.
Ajaib memang. Tak kurang dari Walikota sendiri ikut geram dengan kelambanan anak buahnya yang tidak segera bergerak, meski perintah penertiban sudah dikeluarkan. Perintah Walikota itu tampaknya hanya dianggap angin lalu oleh dinas-dinas terkait di pemkot. Tudingan bahwa pemkot tak berani bersikap karena rata-rata mereka yang menyalahgunakan brandgang itu berasal dari kalangan atas tak urung mengemuka. Sekali lagi, pemkot berjanji akan segera menuntaskan persoalan brandgang itu. Kali ini giliran Kepala Bappeko, Tri Siswanto, yang menyatakan bahwa kasus penyalahgunaan brandgang itu tetap mendapatkan perhatian serius dari pemkot. Sikap pemkot jelas, yakni mengembalikan brandgang sesuai peruntukannya. Hanya saja, kata dia, penertiban tidak bisa dilakukan grusa-grusu. Karena itu pihaknya menunggu perencanaan yang bakal dituangkan dalam RAPBD 2006. Setelah didok, baru mereka bergerak, ujarnya (10/2).
Boleh-boleh saja pemkot berjanji. Tapi mengingat nasib APBD 2006 sendiri masih berselimut misteri, wajar kalau publik kota menjadi skeptis. Jika untuk menyelesaikan satu persoalan saja membutuhkan waktu dan prosedur yang begitu rumit dan panjang, bagaimana dengan persoalan-persoalan lain, yang juga antri untuk segera ditanggulangi? Surabaya, oh Surabaya..
Filed under: goverment | Leave a comment »