• Blog Stats

    • 21,033 hits

Menagih Janji Pemkot!

Pemkot Surabaya benar-benar kehilangan wibawa, demikian judul tajuk salah satu media lokal kota ini. Tak heran jika krisis kepercayaan publik kini tengah menggerogoti birokrasi. Betapa tidak, karena pengelola kota tak konsisten dengan janji-janji mereka sendiri, terlebih janji itu sudah diworo-woro di sejumlah media massa lokal kota ini. Lidah memang betul-betul tak bertulang.

Peristiwa ini tak lepas dari janji pemerintah kota untuk menertibkan brandgang yang tengah menjadi isu panas kota ini. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, penyalahgunaan sewa brandgang atau jalan untuk pembenahan saluran dan masuknya mobil PMK yang dianggap sebagai salah satu biang banjir di Surabaya, jumlahnya cukup banyak. data di Pemkot menunjukkan tak kurang dari 593 brandgang ternyata 371 brandgang di antaranya izinnya sudah mati. bahkan hampir semua brandgang yang izinnya mati, di atasnya sudah didirikan bangunan permanen (9/2).

Terkait dengan brandgang-brandgang bermasalah itu, Walikota Bambang DH pada 27 Januari silam telah berjanji untuk menertibkannya. Perintah pun segera dikeluarkan, khususnya pada instansi penertiban untuk segera menindaklanjutinya. Pada 3 Februari 2006, Komisi C DPRD Surabaya menagih janji pemerintah dengan meminta data-data brandgang kota ini. Permintaan Komisi C tersebut disanggupi oleh Kepala Dinas Bina Marga dan Pematusan, Sri Mulyono, yang menjanjikan akan memberikan data-data itu pada 6 Februari 2006. Tapi, janji tersebut ternyata tidak ditepati. Pada 6 Februari, kembali Walikota memerintahkan penertiban brandgang.

Tidak mau dituding memble, beberapa instansi pemkot berjanji akan segera menggelar penertiban. Pada 7 Februari 2006, beberap instansi terkait, di antaranya Dinas Bina Marga dan Pematusan, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Tata Kota dan Bangunan, Badan Perencanaan Pembangunan, dan Badan Kesatuan dan Perlindungan Masyarakat, menggelar rapat khusus untuk merencanakan penertiban itu. dari hasil pertemuan itu, pemkot berniat menertibkan brandgang tak berizin pada 8 Februari, yang kemudian diundur lagi hingga 10 Februari, karena Bappeko masih belum siap menggelar penertiban dadakan. Namun, ditunggu hingga 10 Februari, janji pemkot untuk menertibkan brandgang hanya tinggal isapan jempol semata. Lagi-lagi, mereka tak berani melangkah dengan alasan masih akan berkoordinasi dengan instansi terkait.

Ajaib memang. Tak kurang dari Walikota sendiri ikut geram dengan kelambanan anak buahnya yang tidak segera bergerak, meski perintah penertiban sudah dikeluarkan. Perintah Walikota itu tampaknya hanya dianggap angin lalu oleh dinas-dinas terkait di pemkot. Tudingan bahwa pemkot tak berani bersikap karena rata-rata mereka yang menyalahgunakan brandgang itu berasal dari kalangan atas tak urung mengemuka. Sekali lagi, pemkot berjanji akan segera menuntaskan persoalan brandgang itu. Kali ini giliran Kepala Bappeko, Tri Siswanto, yang menyatakan bahwa kasus penyalahgunaan brandgang itu tetap mendapatkan perhatian serius dari pemkot. Sikap pemkot jelas, yakni mengembalikan brandgang sesuai peruntukannya. Hanya saja, kata dia, penertiban tidak bisa dilakukan grusa-grusu. Karena itu pihaknya menunggu perencanaan yang bakal dituangkan dalam RAPBD 2006. Setelah didok, baru mereka bergerak, ujarnya (10/2).

Boleh-boleh saja pemkot berjanji. Tapi mengingat nasib APBD 2006 sendiri masih berselimut misteri, wajar kalau publik kota menjadi skeptis. Jika untuk menyelesaikan satu persoalan saja membutuhkan waktu dan prosedur yang begitu rumit dan panjang, bagaimana dengan persoalan-persoalan lain, yang juga antri untuk segera ditanggulangi? Surabaya, oh Surabaya..

Pendidikan Kota Surabaya Menuju 2020?

Dunia pendidikan Surabaya saat ini boleh berbangga hati, sedikit berpolah jumawa pun tak apalah. Toh, kota ini telah memiliki Grand Design Pendidikan Kota Surabaya Menuju Tahun 2020 yang baru saja diujipublikkan. Grand Design ini bahkan telah diterjemahkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya ke dalam program jangka menengah yang lebih rinci dan lebih berjangka pendek, Master Plan Pendidikan Kota Surabaya tahun 2006-2010.

Target yang diusung pun begitu luar biasa. Ada lima program strategis dalam grand design itu. Yang pertama, pemerataan mutu pendidikan. Di sini, hasil yang ingin dicapai adalah minimal 10% sekolah yang ada di Surabaya bertaraf internasional. Sementara sekolah yang berstandar internasional mencapai 40% dan yang berstandar potensial sebesar 40%. Persebaran sekolah ini pun merata di seluruh wilayah Surabaya.

Kedua, peningkatan kebermaknaan pendidikan. Dalam program strategis ini, target yang diusung adalah minimal 70% sekolah menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan benar-benar diperlukan oleh siswa. Ketiga, peningkatan profesionalisme guru, di mana semua guru diharapkan memenuhi kualifikasi standar pendidikan minimal berdasarkan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Selain itu, minimal 30% guru telah memperoleh sertifikasi yang didukung dengan persebaran dan distribusi guru yang berkualitas secara merata.

Adapun program keempat adalah peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, yang mentargetkan minimal 90% sekolah berfasilitas sesuai SNP. Sementara program terakhir, kelima, peningkatan mutu manajemen pendidikan, dengan indikatornya minimal 90% sekolah sudah menerapkan MBS, tiap sekolah memiliki sistem informasi berbasis teknologi informasi (IT), efektivitas dan efisiensi pengelolaan anggaran pendidikan, serta partisipasi swasta dalam penyelenggaraan pendidikan.

Melihat tolok ukur yang ingin dicapai dalam grand design itu, publik perlu berdecak kagum, sembari berharap semoga pengambil kebijakan kota ini tidak terjebak dalam (meminjam istilah Chamim Rosyidi Irsyad) sindrom Miopia, alias sindrom rabun jauh. Atau bahkan sebaliknya, seperti lontaran Dr. Ayu Soetarto bahwa kita (baca: orang Jawa) senangnya yang ndakik-ndakik. Kita piawai dalam merancang sesuatu yang sulit sehingga kita pun enggan atau sulit melaksanakannya. Kita hobi meniru yang jauh ada di luar sana baru sebatas kulitnya. Sementara menyesuaikan isinya dengan konteks bangsa ini malah sering menjadi kekhilafan berjamaah.

Betapa tidak, jangankan bicara tentang kualitas pendidikan, infrastruktur pendidikan yang ada di kota ini masih jauh dari cukup. Gedung-gedung sekolah masih miskin fasilitas. Bahkan, tak jarang terdengar berita tentang gedung sekolah yang roboh ataupun tergenang banjir. Belum lagi bicara tentang faktor tenaga pendidiknya. Begitu banyak para guru bantu di kota ini yang berharap-harap cemas akan masa depan pekerjaannya. Terakhir, dunia pendidikan Surabaya ikut tercoreng oleh kasus pemalsuan merek mikroskop, yang sedianya merupakan program bantuan dari Diknas kota kepada sekolah-sekolah yang membutuhkannya.

Janganlah kita berbicara terlalu jauh. Visi ke depan sah-sah saja dikembangkan. Tetapi jangan lupakan permasalahan kontekstual yang saat ini tengah menghimpit. Jangan semata terjebak pada ranah kebijakan publik yang bersifat teknis, politis dan pragmatis. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!

Menata Kota dengan Reklame

Perlahan namun pasti, Pemkot semakin giat menertibkan reklame yang menyalahi aturan. Tak hanya reklame insidental saja, reklame berukuran besar pun tak luput dari penertiban yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Surabaya. Langkah ini tak lepas dari janji pemerintah kota untuk menertibkan seluruh reklame yang berdiri di jalur hijau. Komitmen ini dimulai dari pembongkaran reklame di sepanjang jalan A. Yani. Nantinya, semua reklame yang berdiri di atas jalur hijau bakal ditertibkan. Bagi yang sudah terlanjur berdiri akan ditunggu hingga izinnya habis. Demikian pernyataan Kepala Bagian Operasi Satpol PP Surabaya, Brahma M. kepada media massa kota ini (25/01/06).

Tentunya, kabar ini merupakan kabar yang menggembirakan bagi publik kota, terlebih di tengah terpaan pemberitaan negatif tentang implementasi pembangunan kota akhir-akhir ini. Sudah menjadi rahasia umum, jika selama ini penyelenggaraan reklame yang ada di lapangan cenderung semrawut dan tumpang tindih. Titik lokasi, desain konstruksi dan ukuran reklame lebih banyak mengakomodasi keinginan dan kepentingan biro/penyelenggara jasa reklame.

Salah satu contohnya adalah pembangunan jembatan penyeberangan orang. Seharusnya, jembatan penyeberangan orang berfungsi utama sebagai tempat orang untuk menyeberang jalan, sementara reklame hanyalah fungsi ikutan. Namun, dalam kenyataannya, pembangunan jembatan penyeberangan orang lebih didominasi oleh kepentingan pemasang iklan yang cenderung kurang memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penyeberang jalan. Pun juga keberadaannya yang cenderung dipaksakan.

Berita-berita tentang reklame tumbang yang kadangkala memakan korban publik kota telah berulang kali kita dengar dan saksikan. Setali tiga uang dengan carut-marut reklame liar yang menambah kumuh wajah kota ini. Pemkot seolah tak berdaya menghadapi realitas semacam itu. Reklame kota ini tumbuh cenderung tanpa kendali, karena belum optimalnya fungsi dan peran Tim Reklame. Belum lagi persoalan kewenangan dan tanggung jawab atas pengawasan penyelenggaraan reklame yang kurang jelas sehingga terkesan antar-dinas saling lempas tanggung jawab.

Karena itu, komitmen Pemkot untuk menertibkan reklame di kota Surabaya perlu disambut dengan suka cita, tentu saja dengan tidak mengurangi daya kritis warga kota dalam melihat konsistensi pemkot menjalankan kebijakannya. Sudah waktunya keindahan kota ini dikembalikan. Hutan reklame yang selama ini membuat carut marut wajah kota sedikit demi sedikit dikurangi. Reklame adalah komponen pembentuk keindahan kota. Dengan demikian, pajak reklame bukanlah prioritas utama.

Lebih dari itu, pengelola kota pun perlu menggali permasalahan reklame yang ada selama ini. Upaya menertibkan reklame liar seakan kurang bermakna jika akar masalah yang bersumber dari lemahnya sistem administrasi tentang aspek perijinan dan pengawasan tidak ikut dibenahi. Pemerintah harus mengembangkan prosedur perijinan penyelenggarann reklame yang transparan, efektif dan efisien. Tentunya diimbangi dengan pengawasan dan penertiban penyelenggaraan reklame secara terpadu.

Dengan demikian, Pemkot pun dapat menwujudkan visinya guna mengembangkan penyelenggaraan reklame di Kota Surabaya yang aman, indah, tertib, dan merupakan sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan. Ayo, Sederek, mbangun Suroboyo!